| bisniskeuangan.kompas.com/ |
Senin, 9 Januari 2012 |
JITET |
KOMPAS.com - Usahawan Indonesia, Elijah Frangkle W,
lagi di kawasan The Bund Shanghai, China. Di area elite di tepian
Sungai Huangpu itu, Elijah hendak membangun hotel dan beberapa
apartemen. Saudara-saudaranya tidak ada yang mendukung karena saat itu,
tahun 1998, mereka sendiri kerepotan menghadapi krisis ekonomi yang
menikam Indonesia.
Akan tetapi, pengusaha lulusan Universitas
Berkeley, Amerika Serikat, ini yakin, justru pada saat krisis, di
situlah ada peluang. Elijah pun membujuk ayahnya, salah seorang usahawan
besar, untuk menambah modal. Sang ayah pada awalnya ragu. Apakah si
anak sudah melakukan perhitungan matang. Namun, sebagai ayah, ia
akhirnya tersentuh juga oleh tekad putranya. Ia mengucurkan uang
pribadinya kepada Elijah.
Proyek pun dimulai. Ia sudah menggali
lubang dalam untuk proyek prestisius itu. namun, apa hendak dikata,
semua harga bahan baku melonjak. Anggaran proyek membengkak. Butuh dana
segar, tetapi tidak menemukan kreditor. Ia mendapat dana dari sebuah
bank lokal Shanghai, tetapi tidak cukup besar karena hanya bisa membuat
pilar-pilar beton. Proyek itu macet.
Elijah yang hendak mencatat
sejarah sukses berbisnis di negeri lain dicekam ketakutan. Modal yang
ada bakal menguap. Sementara ayahnya selalu berpesan, apa pun utang
harus dibayar. Utang kepada keluarga dan utang pada bank atau teman sama
saja kedudukannya. ”Namanya utang, ya, harus dibayar. Sekali gagal
bayar utang atau sekali menghindari bayar utang, karier sebagai usahawan
selesai,” ujar ayahnya kepada Elijah. ”Saya sulit tidur dan makan,”
tuturnya di Jakarta baru-baru ini.
Ketika jatuh tempo, Elijah dan
istrinya menjual semua aset milikinya untuk bayar utang kepada ayah
dan bank. Ayahnya tersenyum dan menepuk pundaknya. ”Begitulah kalau
ingin jadi pengusaha. Jaga martabat, jangan menghindar utang, Apa pun
alasannya.” Elijah dan istri hanya tersenyum kecut.
Di luar
dugaan, ayahnya kembali meminjamkan uang untuk modal membangun apartemen
dan hotel yang sedang dalam pembangunan. Elijah pun spontan bereaksi
cepat. Ia ke Shanghai untuk memulai proyeknya. Ia mengenyahkan semua
kesedihan selama empat tahun ini, selama periode 1998-2002, saat
proyeknya terbengkalai.
Ia pun habis-habisan. Proyek dikebut
tanpa jeda. Akhirnya hotel dan apartemen selesai dalam kurun waktu satu
setengah tahun. Apartemen habis terjual. Tingkat hunian hotelnya
selalu di atas 97 persen. Anak muda itu kini leluasa merintis
proyek-proyek properti lainnya. Kini ia menjadi salah seorang pemain
properti terpandang di Tiongkok. Syukur pun dilakukan, tidak hanya saat
proyeknya rampung, tetapi juga ketika proyeknya terbengkalai. Ia
merasa cobaan itu bagian dari rahmat Yang Maha Pencipta sebab dengan
begitu, ia menjadi lebih kuat, lebih sabar, dan lebih matang.
Pengalaman
yang lebih kurang sama dialami pemain properti lainnya, Budiarsa
Sastrawinata. Usahawan dengan sejumlah proyek besar di Vietnam, Kamboja,
dan India ini bertutur bahwa saat memulai proyek di Hanoi, ia
mengalami kesulitan. Krisis ekonomi 1998-2002 membuat ia
tertatih-tatih. Namun, dengan tekad, ia menyingkirkan semua rintangan
sehingga semua proyek awalnya tuntas.
Budiarsa baru bisa
tersenyum ketika proyek apartemen, perumahan, dan hotelnya laris. Ia
kemudian bergegas mengembangkan proyek lain sehingga bendera Grup
Ciputra berkibar di Hanoi, Saigon, Phnom Penh, dan Kolkata.
Sebetulnya,
tutur Budiarsa, tidak ada rencana ekspansi ke luar negeri. Namun,
dalam percakapan dalam keluarga, tercetus gagasan ini. Soalnya, Grup
Ciputra sudah disegani di dalam negeri. Namun, dalam era globalisasi,
apa asyiknya menjadi jago kandang? Mengapa tidak melebarkan sayap usaha
ke luar negeri? Pilihan pertama jatuh kepada Vietnam. Negeri itu
tengah membangun dan persentase masyarakat kelas menengah naik.
Cuma,
kata Budiarsa, perlu nyali luar biasa, kreativitas, serta mental baja
untuk berbisnis di luar negeri. Maklum, tidak mudah menguasai medan
yang masih baru. (Abun Sanda)
0 komentar:
Posting Komentar