| bisniskeuangan.kompas.com/ |
Senin, 16 Januari 2012 |
Oleh Abun Sanda
Menarik mencermati pertarungan
ketat di kalangan pebisnis kelas atas. Sama-sama bermodal kuat,
sumber daya manusia yang hebat, jaringan yang luas, serta dukungan
riset yang kuat. Namun, tidak banyak yang benar-benar unggul dalam
pertarungan merebut pasar.
Kita salut pada sejumlah perusahaan
yang mampu melakukan kreasi dan inovasi pasar hanya dengan modal nama.
Lihatlah beberapa banyak perusahaan properti raksasa di Jakarta dan
sekitarnya. Proyek belum dimulai, pengerjaan gambar pun belum tuntas,
tetapi berita sudah tersebar lewat bisik-bisik. Bakal proyek itu sudah
diburu konsumen. Pengembang yang punya bakal proyek ”didesak” untuk
menerima uang muka mereka. Dalam tempo sebulan, sudah 120 unit (bakal)
apartemen itu disapu pembeli yang berebut harga perdana.
Salut
juga pada kekuatan pedagang sandal dan sepatu. Ketika melakukan
”penjualan massal dengan harga khusus”, antrean bisa mencapai tiga
kilometer, selama lima hari. Karena besarnya minat, penjualan dilakukan
di hal yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola. Ini hebat
sebab penjualan massal dengan harga khusus banyak juga yang
melakukannya. Akan tetapi, kalau perusahaan sandal dan sepatu ini mampu
menyedot massa pembeli, tentu orang-orang di balik pemasarannya hebat.
Citra yang diciptakannya pun sangat impresif.
Demikian halnya
dengan pertarungan di bisnis otomotif. Merek yang bersinar, nama yang
harum, membuat produk otomotif tertentu langsung terserap pasar yang
ramai. Produsen yang hanya setengah-setengah tidak akan mendapat
apa-apa.
Pihak ”netral”, yakni warga yang tidak terlibat dalam
pertarungan mendapatkan barang obralan, mungkin akan merinding memandang
betapa dahaganya warga yang memborong barang bagus yang diobral. Pihak
netral ini mungkin akan terperangah melihat sejumlah konsumen membawa
sekian banyak keranjang untuk menyapu produk yang mereka sukai.
Mengapa
konsumen seperth itu? Dari pemantauan, penjualan menjadi ramai karena
umumnya produk yang dikejar-kejar itu bermutu. Untuk properti,
konsumen berani membeli kendati belum ada gambar. Harga perdana pun
belum dilepas ke publik sebab mereka yakin, pengembang dari proyek itu
kredibel, prolingkungan hidup, dan tidak akan melarikan uang mereka.
Aspek
lain, harga produk properti cepat meroket. Penjualan apartemen pada
harga perdana Rp 1,7 miliar, dalam enam bulan kemudian, sudah Rp 2,6
miliar. Properti memang selalu atraktif.
Harga yang cepat meroket
menarik perhatian publik yang kebetulan punya uang. Biasanya juga
merebak investor dan spekulan, tetapi jumlahnya hanya 30 persen. Sekitar
70 persen adalah pembeli yang memang hendak mendiami apartemen itu.
Veri
Setiadi, eksekutif properti di Jakarta, menyatakan, atraktifnya pasar
tidak bisa hanya dilihat dari lokasi proyek. Akan tetapi, ditentukan
reputasi perusahaan itu, kualitas produk, bagaimana produk itu
dikerjakan, penanganan pascajual, dan penanganan pemasaran sangat prima.
Produk bisa bagus, tetapi kalau pemasaran dan manajemen buruk, tidak
cukup bergaung.
Produsen yang baik selalu mati-matian dalam
penyiapan dan pengerjaan produk. Mereka baru mengambil jeda berkreasi
dan berinovasi tatkala proyek selesai prima. Mereka tidak mengenal
bekerja setengah-setengah.
0 komentar:
Posting Komentar