| edukasi.kompas.com/ |
Kamis, 26 Januari 2012 |
Ilustrasi: Ketidakadilan tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah negeri dengan label RSBI/SBI, tetapi juga di sekolah-sekolah yang berada di bawah level RSBI. |
Elin Driana
KOMPAS.com - Tanggapan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh terhadap uji materi Pasal 50 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 terkait rintisan sekolah berstandar
internasional yang diajukan oleh Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan
patut dicermati.
Ia menyatakan bahwa rintisan sekolah berstandar
internasional (RSBI) merupakan wadah atau layanan khusus bagi anak-anak
pintar (Kompas, 30/12/2011).
Selanjutnya, ”Jika semua anak-anak
pintar harus bersekolah di sekolah yang reguler, dikhawatirkan tidak
ada kesempatan untuk berkembang,” kata Mendikbud.
Pendidikan khusus
Ada
kerancuan yang berpotensi menimbulkan multitafsir dalam pernyataan
Mendikbud. Ia mencampuradukkan antara RSBI/sekolah berstandar
internasional (SBI) yang diatur dalam Pasal 50 Ayat (3) UU No 20/2003
dengan pendidikan khusus yang diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) UU yang
sama.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17/2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ataupun Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
juga tidak menyebutkan peran RSBI/SBI sebagai pendidikan khusus bagi
anak-anak dengan kemampuan akademik lebih tinggi daripada siswa-siswa
pada umumnya.
Jadi, apakah dalam pandangan Mendikbud RSBI/SBI juga
merupakan realisasi Pasal 32 Ayat (1) UU No 20/2003? Jika RSBI/SBI
adalah pendidikan khusus, mengapa perlu ada pasal terpisah dari pasal
pendidikan khusus?
Dalam pandangan penulis, pendidikan khusus yang
dimaksudkan dalam Pasal 32 tentunya berbeda dari RSBI/SBI. Pendidikan
khusus tersebut ditujukan, antara lain, untuk anak-anak yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang hingga kini belum jelas pula
konsep pembinaan dan pelaksanaannya pada tataran praktis.
Persyaratan-persyaratan
khusus dalam penerimaan peserta didik di RSBI/SBI yang tercantum pada
Pasal 16 Ayat (1) Permendiknas Nomor 78 Tahun 2008 berlawanan dengan
semangat Pasal 5 Ayat (1) UU No 20/2003. Bunyinya, ”Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
Selanjutnya
Pasal 11 Ayat (1) menegaskan pula bahwa ”Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.”
Sekolah untuk siapa?
Kenyataannya,
peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku mensyaratkan,
antara lain, prestasi akademik untuk dapat mengakses pendidikan bermutu
melalui mekanisme penerimaan siswa ke jenjang yang lebih tinggi di
pendidikan dasar dan menengah. Konsekuensinya, yang memiliki peluang
mendapatkan pendidikan lebih bermutu adalah siswa dengan prestasi
akademik yang lebih tinggi.
Ketidakadilan ini tidak hanya terjadi
di sekolah-sekolah negeri dengan label RSBI/SBI—yang telah memenuhi
Delapan Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan kurikulum
negara-negara OECD ataupun negara maju lainnya—tetapi juga di
sekolah-sekolah yang berada pada level di bawah RSBI/SBI berdasarkan
kategorisasi yang dibuat oleh pemerintah.
Nilai UN, misalnya,
digunakan sebagai dasar seleksi dari SD ke SMP/setingkat dan dari SMP ke
SMA/setingkat sebagaimana tercantum pada Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun
2005. Siswa dengan nilai UN lebih tinggi berpeluang lebih besar untuk
diterima di sekolah-sekolah yang masuk dalam kategori sekolah standar
nasional (SSN). Siswa yang memiliki nilai UN lebih rendah harus menerima
kenyataan bersekolah di sekolah-sekolah dengan mutu lebih rendah.
Setiap
anak memang memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda-beda.
Meskipun demikian, anak-anak dengan kemampuan akademik yang kurang
sekalipun memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai potensi
tertinggi yang dimiliki apabila mereka berada di lingkungan belajar yang
lebih kondusif. Lingkungan belajar dengan guru-guru yang memiliki
kecintaan tinggi pada profesi yang ditekuninya dan berbagai
sarana-prasarana penunjang yang diidealkan bagi RSBI/SBI.
Sangat
disayangkan jika anak-anak dengan kemampuan akademik kurang tereliminasi
oleh peraturan-peraturan yang sebenarnya bertentangan dengan hak warga
negara untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Di lain pihak,
keterkaitan antara prestasi akademik dan status sosial ekonomi orangtua
telah mendapatkan dukungan bukti-bukti empiris yang meyakinkan (Dee
& Jacob, 2006).
Diane Ravich, seorang profesor sejarah
pendidikan dari New York University, yang awalnya mendukung ”No Child
Left Behind” (tidak seorang anak pun boleh ditinggalkan) dengan
kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada standardisasi dan akuntabilitas
pendidikan yang didasarkan pada hasil-hasil tes, kini berbalik
menentang.
Faktor kemiskinan
Ravich
menegaskan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap rendahnya
prestasi akademik siswa adalah kemiskinan. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila siswa dari kalangan lebih mampu secara ekonomi yang
mendominasi sekolah-sekolah berlabel RSBI.
Kuota minimal 20
persen yang diberikan bagi anak-anak berkemampuan akademik tinggi,
tetapi berasal dari keluarga tidak mampu, jelas tidak memadai dan tidak
adil. Anak-anak dengan kemampuan akademik lebih tinggi dari keluarga
yang tidak mampu harus bersaing lebih ketat dibanding anak-anak dari
keluarga yang lebih mampu.
Mempertahankan RSBI/SBI dan sistem
penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah negeri pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah yang ada saat ini berpotensi memperlebar kesenjangan
prestasi akademik berdasarkan status ekonomi siswa.
Dengan
demikian, evaluasi terhadap RSBI/SBI dan sistem penerimaan siswa baru
menjadi mendesak. Ini sesuai perintah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
terkait gugatan 58 warga negara terhadap ujian negara, Presiden, Wakil
Presiden, Mendikbud, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan untuk
meninjau kembali sistem pendidikan nasional.
Elin Driana Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka; Salah Satu Koordinator Education Forum