| bisniskeuangan.kompas.com/ |
Rabu, 25 Januari 2012 |
Ester Meryana Peni Zulandari Suroto, pemilik Nalini Intercraft, |
JAKARTA, KOMPAS.com — Siapa menyangka kekhawatiran
Peni terhadap produk budaya Indonesia berbentuk cendera mata yang tampak
langka di pasaran bisa meraup ratusan juta rupiah. Penghasilan tersebut
merupakan bukti bahwa produk cendera mata khas Indonesia punya potensi
besar. "Usahanya masih baru, dari tahun 2009," ucap Peni Zulandari
Suroto, pemilik usaha Nalini Intercraft kepada Kompas.com, akhir pekan lalu.
Ia
mengaku, ide awalnya murni karena keprihatinan ia dan seorang rekan
bisnisnya terhadap cendera mata Indonesia yang jarang ditemui di
pasaran. Setelah mencoba mengamati beberapa waktu, ia tersadar bahwa
cendera mata negara lainlah yang banyak dimiliki sejumlah kerabat yang
ditemuinya. Kalaupun ada cendera mata khas Indonesia, kualitasnya pun
tidak sebagus cendera mata khas negara lain. "Kita coba cari, bener nggak sih nggak ada (jarang ditemukan). Ternyata setelah dicari (benar jarang). Akhirnya beranikan diri untuk usaha," kata dia.
Apalagi,
katanya, budaya Indonesia banyak ragamnya. Tapi ia sendiri agak sulit
karena tidak berbekal keahlian layaknya pelukis ataupun fotografer.
Dengan keahliannya, pelukis bisa menghasilkan lukisan dan fotografi bisa
membuahkan foto yang bagus. Ia pun dapat ide untuk membuat cendera mata
seperti pada umumnya, yakni, salah satunya, yang berbentuk piringan.
Ada setidaknya 10 jenis bentuk cendera mata yang ia hasilkan sekarang
ini. Bentuk piring dan magnet kulkas adalah yang paling banyak laku.
"Kita tidak lupa identitas Indonesianya," tegas Peni.
Identitas
itu yang paling penting dalam produknya. Jadi, dalam produknya ada label
nama "Indonesia" dan sedikit keterangan mengenai budaya yang
ditampilkan dalam, misalnya, cendera mata bentuk piring. Nantinya, kata
dia, ia akan berusaha memberikan keterangan dalam produk cendera
matanya. "Piring saja ada sedikit cerita deskripsi. Tahun ini deskripsi
di semua produk akan ada," tuturnya.
Misalnya saja, jika ada
magnet kulkas berbentuk orang yang berbaju adat, maka ia akan memberikan
keterangan dari baju adat tersebut dari mana asalnya, dan menekankan
bahwa itu hanya salah satu produk budaya saja dari puluhan atau ratusan
produk budaya suatu daerah.
Karena tidak memiliki latar belakang
sejarah ataupun budaya, Peni dan rekannya agak kesulitan untuk
mengangkat suatu budaya yang akan dijadikan cendera mata. Dengan begitu,
ia harus rajin mengakses internet dari berbagai sumber dan
merangkumnya.
"Kesulitan kedua adalah sumber daya dari bahan baku,
karena mungkin format (cendera mata) ini belum banyak orang yang buat,"
ungkapnya. Tapi, ia berhasil mengatasinya dengan paling tidak
mengikutsertakan tujuh rekan yang membuat produknya, seperti perajin
wayang yang membuat motif untuk produknya. Dengan kata lain, ia dan
rekannya hanya bertindak layaknya koordinator.
Kesulitan lainnya
adalah distribusi atau mencari tempat yang bisa dititipkan produknya.
Tempat itu juga harus bisa menjangkau baik orang lokal dan wisatawan
asing. Ia pun sempat menemukan tempat yang bagus untuk menjaring
konsumen, tapi mencekik dalam hal bagi hasil.
Tahun ini, usaha
cendera matanya akan berupaya masuk ke pasar Yogyakarta dan Bali. Kedua
provinsi ini memang wajib dimasuki karena masih menjadi titik pariwisata
Indonesia. Produknya akan coba dipasarkan di sejumlah tempat seperti
bandara dan toko cendera mata setempat.
Usaha Peni pun menarik
Bank Mandiri untuk menjadikannya sebagai mitra binaan. Nalini Intercraft
telah ikut serta dalam Wirausaha Muda Mandiri sejak tahun 2010. Sebagai
finalis regional Jakarta, Nalini pun diikutkan dalam berbagai seminar
dan expo oleh bank BUMN ini hingga ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Dengan
produksi utama cendera mata berbentuk piring yang per bulannya bisa
mencapai 2.000 buah, dan magnet kulkas yang mencapai 2.500, maka ia pun
bisa meraup omzet hingga Rp 300 juta. Modal awalnya, Peni dan rekannya
harus merogoh koceknya sendiri dari tabungan dan pinjaman dari kerabat
hingga Rp 75 juta. Ia juga meminjam dari bank untuk modal lanjutan
seiring dengan berkembangnya usaha. "Menurut saya (kuncinya di mengolah)
sumber daya bukan (hanya) skill-nya," pungkas Peni.